KPU dan Pembangkangan Hukum
![]() |
KPU RI (www.tribunnews.com) |
Setelah
ada sinyal lampu hijau dari Presiden Jokowi, pada akhirnya Kemenkumham
mengundangkan Peraturan KPU No. 20 tahun 2018 yang salah satu aturannya memicu perdebatan
sengit berbagai kalangan beberapa bulan
terakhir. Hal ini terkait salah satunya larangan bagi mantan
koruptor mendaftar sebagai bakal calon legislatif (bacaleg).
Sebelumnya
KPU telah bersikap mengabaikan Kemenkumham kalau tetap tak mau mengundangkan. Kemenkumham mengalah dan PKPU itu sekarang sudah diberlakukan
dalam tahapan pendaftaran bacaleg.
Awalnya
saya termasuk pihak yang tak habis pikir kenapa KPU begitu gigih dengan
sikapnya. Tidakkah lembaga penyelenggara pemilu ini punya sikap yang lebih
cerdas bila niatnya sekedar ingin berpartisipasi dalam gerakan pemberatasan
korupsi. Apakah ini cuma satu-satunya jalan yang dilihat KPU untuk menunjukkan
kepeduliannya tentang pentingnya melahirkan anggota legislatif dengan
integritas tinggi, berkomitmen besar memberantas korupsi dan menjauhi perbuatan
korupsi dalam setiap gerak langkah tugas profesionalnya selaku wakil rakyat.
Tadinya
saya mengira KPU memang hanya sekedar mencari sensasi dan gagah-gagahan dengan
mengabaikan beberapa UU dan mengambil sikap berhadap-hadapan secara frontal
dengan pihak Pemerintah, DPR, Partai politik bahkan dengan Bawaslu sebagai sesama lembaga penyelenggara Pemilu.
Caleg Mantan Narapidana menurut UU
Sejatinya
secara normatif persyaratan baru yang dicantumkan bagi bakal calon anggita
legislatif tersebut memang tidak bersesuaian dengan beberapa peraturan
perundang-undangan.
Salah satu syarat yang diatur dalam pasal 240 ayat
(1) butir g UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu terkait pencalonan anggota
legislatif adalah tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka
dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Ketentuan ini jelas mengatur bahwa pembatasan tidak
hanya bagi mantan narapidana tindak pidana korupsi tetapi seluruh mantan
narapidana yang pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 (lima) tahun
atau lebih dilarang untuk mendaftar sebagai calon anggota legislatif kecuali
yang bersangkutan secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai
mantan narapidana.
Dalam UU ini juga tidak ditemui perintah langsung
agar KPU membuat peraturan KPU sebagai pengaturan lebih lanjut terkait
persyaratan calon anggota legislatif. Hanya saja dalam pasal 257 ayat (3)
disebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diatur dalam Peraturan KPU.
Sementara itu dalam Peraturan
KPU No. 20 tahun 2018 terkait pencalonan
legislatif, KPU menambahkan aturan bahwa
bakal calon legislatif bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual
terhadap anak, atau korupsi (pasal 7 ayat 1 butir h).
Solusi atas
Sikap Legiskatif
Secara normatif memang KPU tidak bisa melampaui wewenang membuat norma baru yang
pada akhirnya terkesan membatasi hak-hak warganegara untuk menjadi calon
legislatif melebihi dari aturan yang telah dicantumkan dalam UU. Namun saya dapat
memahami spirit yang diusung oleh KPU dalam rangka mendukung pemberantasan
korupsi dan berdasarkan pembacaan atas peta kekuatan dan kepentingan politik
yang terbaca oleh KPU.
Faktanya akan sangat mustahil mendapatkan aturan pelarangan yang
demikian apalagi pelarangan bagi mantan koruptor untuk menjadi bakal calon
anggota legislatif mendapat persetujuan
dari DPRI sebagai satu-satunya penguasa penyusun UU (Legislatif).
Apalagi kita paham betul
bagaimana sikap dan pemahaman kalangan elit anggota DPR yang cenderung
mendominasi suara dewan. Bisa dikatakan penolakan dari Komisi II DPR saat ini
sudah mewakili penolakan DPR secara kelembagaan.
Untuk itu memang dibutuhkan
sedikit keberanian dan terobosan dalam rangka mewujudkan Pemilu yang beritegritas. Caranya adalah dimulai
dari pengetatan syarat bakal calon
anggota legislatif. Sedikit banyaknya rekam jejak bacaleg akan berpengaruh
terhadap terpilihnya anggota legislatif yang lebih punya komitmen yang kuat
untuk mendukung Indonesia yang bersih dan bebas KKN.
Pembangkangan Terhadap Hukum?
Secara normatif memang PKPU berbeda pengaturannya dengan
UU Pemilu. Tetapi bisakah serta merta ini disebut pelanggaran atau
pembangkangan terhadap Hukum?
Menurut Prof.
Satjipto Rahardjo, UU dianggap sebagai satu-satunya pintu masuk saat seseorang
berbicara tentang hukum dan negara hukum. Maka bisa dimengerti mengapa orang
begitu meributkan soal UU.
Namun
menurut pencetus konsep Hukum Progresif ini, pengalaman di lapangan menunjukkan
betapa kompleksnya masalah dan bekerjanya hukum. Hukum tidak selalu sejelas,
segampang dan sesederhana seperti dibayangkan orang, kendati dikatakannya hukum
sudah jelas. Hukum adalah dokumen yang terbuka untuk atau mengundang
penafsiran. UU yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat mungkin akan
ditidurkan (statutory dormancy) atau
dikesampingkan (desutudo) (Hukum Yang Lumpuh, Kompas, 9/5/1977).
Keadaan itu
menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan asli, otentik, dan otonom, yang bekerja
secara laten dalam masyarakat yang mempengaruhi bekerjanya UU. Masyarakat
ternyata memiliki kekuatan untuk menawar berlakunya suatu UU. Dan hal semacam
ini menurut Prof. Satjipto Rahardjo tidak sama dengan penolakan atau
pembangkangan terhadap Hukum dan UU. (Hukum Progresif, 2010, hal. 127).
Maka
dalam kondisi gawat darurat korupsi yang masih dialami Indonesia sampai saat
ini, saya kira konsepsi Hukum Progresif di atas menemukan relevansinya, yang mutlak
perlu dipahami seluruh pihak yang
berkepentingan terhadap terwujudnya Indonesia yang bebas KKN secara utuh. Salah
satu pilar utama yang harus diwujudkan adalah Legislatif Yang Berintegritas.
Ini penting untuk melawan stigma korupsi berjamaah yang pernah menggema bahkan
mungkin masih terjadi sampai saat ini di beberapa daerah.
Dengan
demikian kita berharap tak akan ada elemen bangsa yang akan mengajukan uji
materi terkait PKPU tersebut kepada Mahkamah Agung. Kalaupun ada maka kita
sangat berharap MA akan muncul dengan sikap yang progresif untuk menolak
gugatan tersebut.
Catatan : Tulisan ini pertama kali dimuat dalam rubrik Kolom Detik.com, 10 Juli 2018
loading...
Posting Komentar untuk "KPU dan Pembangkangan Hukum"