Keputusan Prematur Pembubaran HTI
![]() |
Foto : www.hizbut-tahrir.or.id |
Pemerintah memutuskan untuk
membubarkan dan melarang kegiatan yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan
(ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menteri Koordinator bidang Politik,
Hukum dan Keamanan Wiranto menuturkan, keputusan tersebut telah melalui satu
proses pengkajian yang panjang.
Dalam keputusan
tersebut, Wiranto memaparkan tiga alasan pemerintah membubarkan HTI. Pertama, sebagai ormas berbadan
hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses
pembangunan guna mencapai tujuan nasional.
Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI
terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang
berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang tentang Ormas.
Ketiga, aktifitas yang dilakukan HTI
dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan
dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
Demikian konferensi pers Pemerintah
sebagaimana diberitakan media massa baik cetak maupun elektronik. Ada beberapa
pertanyaan mendasar yang patut diajukan atas sikap pemerintah tersebut.
Pertama, secara substansial cukupkah ketiga alasan tersebut menjadi dasar bagi
Pemerintah untuk membubarkan HTI?
Kedua, secara legal formal apakah keputusan
tersebut sudah sesuai dengan mekanisme yang diatur UU No.17 tahun 2013 tentang Oganisasi
Kemasyarakatan (Orrmas)?
Aspek
Substansial
Secara substansi barangkali banyak
yang menilai keputusan Pemerintah membubarkan HTI ini sudah tepat. Sebagaimana
sudah menjadi pengetahuan umum bahwa HTI adalah salah satu ormas yang getol menggusung konsep khilafah untuk
diterapkan di Indonesia. Prinsipnya ada pemahaman dasar bahwa seluruh
permasalahan umat yang sekarang terjadi kini karena tidak diterapkannya konsep
khilafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Muncul tiga dugaan atas model kampanye
HTI. Pertama, kurangnya ruang untuk menjelaskan konsepsi khilafah secara
lengkap. Kedua, siasat untuk menarik minat khalayak sehingga mengkaji konsepsi
khilafah lebih mendalam. Ketiga, metode pemasaran yang panik, yaitu wacana
khilafah sebagai solusi bagi seluruh permasalahan hanyalah angin surga dan
bohong belaka. (M. Dodi Kurniawan, www.geotimes, 8 Mei 2017).
Dugaan lainnya menyatakan
bahwa meski HTI mengakui Islam sebagai ideologinya (mabda) sesuai Pancasila dan Bhinneka Tunggal
Ika dan tidak pernah melakukan kekerasan fisik, tampaknya tujuan menegakkan
khilafah itu bertentangan dengan NKRI dan UUD 1945. (M. Dodi Kurniawan, Geotimes, 8 Mei 2017).
Soal khilafah apakah benar bertentangan dengan NKRI
dan UUD 1945 butuh pembahasan panjang lebar. Namun secara substansial ada baiknya kita
lihat dulu apakah dasar yang disebut Pemerintah sudah sesuai dengan UU No.17
tahun 2013 tentang Ormas.
Pasal 2 UU No.17 tahun 2013 tentang Ormas menegaskan
bahwa asas Ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun Ormas dapat mencantumkan ciri
tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita Ormas yang tidak bertentangan
dengan kedua hal tersebut (pasal 3).
Dalam kerangka UU Ormas, Ormas terdiri dari Ormas yang
berbadan hukum maupun ormas yang tidak berbadan hukum. Ormas dapat berbasis
anggota maupun tidak sesuai bentuk badan hukumnya. Berdasarkan informasi yang
berkembang HTI adalah ormas yang berbadan hukum yang telah mendapatkan status
badan hukum dengan pengakuan dari Kementerian Hukum dan HAM.
Jika benar demikian adanya mestinya syarat prinsipil
sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan 3 di atas secara formal sudah selesai.
Dengan mendapatkan status badan hukum artinya kecil sekali kemungkinan HTI
tidak memenuhi ketentuan syarat pasal 2 dan 3 di atas, sebagaimana dimuat dalam AD dan ART
HTI.
Namun sebagaimana dikemukakan Menkopulhukam, Wiranto dasar keputusan Pemerintah lebih kepada tataran praktis yang katanya juga
berdasarkan kajian mendalam yang telah dilakukan. Dalam realita aktivitasnya
Pemerintah menilai antara lain kegiatan
yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas,
dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun
1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ormas.
Jika diacu kembali ke UU
Ormas maka dapat dipastikan Pemerintah menilai HTI telah melanggar pasal 21 UU
Ormas. Pasal tersebut menegaskan Ormas berkewajiban:
a. melaksanakan kegiatan
sesuai dengan tujuan organisasi;
b. menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. memelihara nilai agama,
budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk
masyarakat;
d. menjaga ketertiban umum
dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat;
e. melakukan pengelolaan
keuangan secara transparan dan akuntabel; dan
f. berpartisipasi dalam
pencapaian tujuan negara.
Selain itu yang paling
penting menurut pasal 59 ayat (4) Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta
menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Namun demikian UU Ormas juga
mengatur bahwa penilaian yang dinyatakan Pemerintah tersebut tidak bisa
berdasarkan klaim sepihak belaka. Pemerintah harus membuktikan bahwa dalam
tataran praktis ketiga alasan yang dinyatakan tersebut memang benar adanya.
Bagaimana mekanisme
pembuktiannya? Maka disinilah pentingnya aspek prosedural yang sudah diatur
dalam UU Ormas terkait tata cara pembubaran sebuah ormas.
Konsep negara hukum melarang
Pemerintah secara sepihak membubarkan atau membekukan ormas apalagi yang sudah
berstatus badan hukum. Sebagaimana landasan
filosofi atas lahirnya UU Ormas yaitu kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dijamin
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Aspek
Prosedural
Untuk itu pasal 68 ayat (2)
UU Ormas tegas mengatur bahwa pencabutan
status badan hukum dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap untuk ormas berbadan hukum.
Selanjutnya Pasal 70 menegaskan
permohonan pembubaran Ormas berbadan hukum diajukan ke pengadilan negeri oleh
kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Permohonan harus
disertai bukti penjatuhan sanksi administratif oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah. Dalam hal permohonan tidak disertai bukti penjatuhan sanksi
administratif tersebut, permohonan
pembubaran Ormas berbadan hukum tidak dapat diterima
Menurut pihak HTI sendiri sampai
Pemerintah mengumumkan secara tiba-tiba sikap Pemerintah terkait pembubaran
tersebut, sama sekali pihak HTI tidak pernah mendapatkan teguran, sanksi atau
apapun namanya sebagaimana diatur UU Ormas.
Jika benar demikian adanya maka langkah
Pemerintah yang akan mengajukan permohonan pembubaran HTI ke Pengadilan
tentulah menjadi langkah prematur dan terburu-buru. Besar kemungkinan
pengadilan akan memutus tidak dapat menerima permohonan.
Seharusnya bila benar Pemerintah
menilai HTI telah melanggar pasal 21 dan 59 UU Ormas, maka terlebih dulu
langkah yang wajib ditempuh adalah menjatuhkan sanksi administratif. Sanksi
administratif terdiri atas:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian bantuan dan/atau hibah;
c. penghentian sementara kegiatan;
dan/atau
d. pencabutan surat keterangan
terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Peringatan tertulis sebagaimana
dimaksud di atas pun terdiri dari peringatan tertulis kesatu, peringatan
tertulis kedua dan peringatan tertulis
ketiga. Peringatan tertulis diberikan secara berjenjang dan setiap peringatan
tertulis tersebut berlaku dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Bila Ormas telah mematuhi peringatan
tertulis sebelum berakhirnya jangka waktu 30 hari tersebut Pemerintah dapat
mencabut peringatan tertulis dimaksud. Dalam hal Ormas tidak mematuhi
peringatan tertulis kesatu Pemerintah dapat menjatuhkan peringatan tertulis
kedua. Begitu seterusnya sampai peringatan tertulis ketiga tidak juga dipatuhi
barulah sanksi penghentian bantuan dan/atau hibah baru dapat dijatuhkan. Bila
Ormas tidak menerima hibah atau bantuan Pemerintah maka Pemerintah menjatuhkan
sanksi penghentian sementara kegiatan atau pencabutan surat keterangan
terdaftar atau pencabutan status badan hukum atau kedua-duanya sekaligus.
Menurut Pasal 65 UU Ormas untuk penjatuhan
sanksi penghentian sementara kegiatan terhadap Ormas lingkup nasional,
Pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung. Apabila dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari Mahkamah Agung tidak memberikan
pertimbangan hukum, Pemerintah berwenang menjatuhkan sanksi penghentian
sementara kegiatan.
Sanksi penghentian sementara
dijatuhkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.Setelah jangka waktu
tersebut berakhir Ormas dapat melakukan kegiatan kembali. Kecuali Ormas telah
mematuhi sanksi penghentian sementara sebelum berakhirnya jangka waktu 6 bulan
tersebut Pemerintah dapat mencabut sanksi tersebut.
Terhadap Ormas berbadan hukum yang tidak
mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan yang telah dijatuhkan,
Pemerintah berwenang menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum.Pencabutan
status badan hukum keluat setelah adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Setelah itu barulah Menteri Hukum dan Ham
dapat melaksanakan status pencabutan badan hukum tersebut.
Sedangkan Bagi Ormas yang tidak
berbadan hukum yang tidak mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan,
Pemerintah dapat menjatuhkan sanksi pencabutan surat keterangan terdaftar.
Namun sebelumnya wajib juga meminta pertimbangan hukum Mahkamah Agung.
Maka pertanyaan mendasar yang patut
kembali diajukan adalah apa benar Pemerintah sudah mengeluarkan keputusan
pembubaran tersebut? Bila iya artinya tindakan pemerintah sudah melanggar UU
Ormas. Bagaimana mungkin pemerintah mengeluarkan keputusan pembubaran bila
semua langkah dan mekanisme sebagaimana
diatur UU Ormas belum dilakukan?
Dugaan saya sepertinya pemerintah baru
sekedar menyampaikan sikap politiknya dengan konferensi pers yang dipimpin langsung
Menkopolhukam tersebut. Karena kalau benar keputusan sudah dikeluarkan sangat
berpeluang Pemerintah akan menuai gugatan di pengadilan.
Kalaulah memang Pemerintah akan
membubarkan HTI, bagaimanapun harus disadari bahwa keputusan tersebut harus
dilakukan sesuai mekanisme yang telah diatur UU. Kalaupun seluruh tahapan sudah dilalui yang patut diigarisbawahi adalah keputusan tersebut harus mendapatkan penetapan pengadilan. Jadi tidak murni otoritas Pemerintah sendiri
tetapi harus melalui proses di lembaga yudikatif (pengadilan) terlebih dulu.
Bisa saja nanti pengadilan tidak mengabulkan permohonan Pemerintah. Apalagi
bila memang faktanya permohonan tersebut tidak sesuai dengan UU baik
secara materil maupun prosedural.
Maka
ketimbang terlanjur
melakukan langkah hukum yang nantinya akan sia-sia tentu sebaiknya pemerintah kembali
mengkaji sudah sampai di mana tahapan yang dilakukan Pemerintah terhadap HTI.
Akan lebih baik untuk mundur kembali ke belakang ketimbang menelan kekalahan di
pengadilan nanti. Apalagi bila benar faktanya sama sekali HTI tak pernah
menerima surat peringatan ataupun sanksi administrasi lainnya sebagaimana
disyaratkan UU Ormas.
Akan
lebih baik bagi Pemerintah untuk tidak terlalu terlihat bernafsu membubarkan
sebuah ormas tanpa mengikuti mekanisme hukum yang sudah dibuat sendiri oleh
Pemerintah dan DPR. Seharusnya
tidak boleh lagi terjadi di Negara Hukum Indonesia ini seseorang atau badan
hukum diperlakukan sewenang-wenang menyalahi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku.
Depok,
10 Mei 2017
Posting Komentar untuk "Keputusan Prematur Pembubaran HTI"